Breaking News

Minggu, 04 Januari 2015

Gerabah

Letaknya nun di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur, dihimpit panorama bergunung-gunung, di sanalah Kabupaten Pacitan. Wilayah paling ujung ini berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Trenggalek di timur,samudra Hindia di selatan, dan Wonogiri Jawa Tengah di sebelah barat.

Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan kapur. Karena itu tanah di Pacitan kurang cocok untuk pertanian. Kondisi alam yang keras inilah membuat masyarakat Pacitan mahir menyesuaikan kehidupan dengan alam. Pacitan adalah tempatnya batu mulia. Selain batu mulia, di kabupaten ini juga berkembang batik tulis dan sentra kerajinan gerabah.
Sentra kerajinan gerabah berada di Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung. Desa ini persisnya berada di km 8 arah selatan Kota Pacitan menuju Pantai Wawaran. Desa ini memang sudah sejak lama terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Tidak kurang dari 30 orang perajin setiap hari memproduksi gerabah, terutama jenis peralatan dapur dan pot bunga.
Selain memproduksi gerabah untuk kebutuhan sehari-hari, di Desa Purwoasri juga diproduksi gerabah seni. Bagi Kabupaten Pacitan gerabah seni masih tergolong unggulan baru. Namun karena produk-produknya bagus, mampu menggerakkan warga satu kampung untuk berproduksi. Maka kerajinan gerabah seni ini layak mendapatkan dukungan.
Sejak tahun 1959 Desa Purwoasri sudah menjadi sentra kerajinan gerabah. Kerajinan ini sudah menjadi produksi massal bagi hampir warga dusun. Menariknya, kebanyakan pekerjanya adalah wanita atau ibu-ibu. Baru tahun 2009 dibentuklah kelompok perajin, namanya Maju Asri. Saat ini anggota kelompok ini mencapai 44 orang perajin semuanya adalah kaum ibu-ibu.
Menurut Rumini, 50 tahun, Kepala Produksi Gerabah Seni Maju Asri, produksi perajin gerabah di Desa Purwoasri yang paling diminati pasar di antaranya guci-guci bermotif batik dan wayang, vas bunga, tempat payung, asbak dan berbagai souvenir. Pasar gerabah seni yang sudah tergarap dengan baik adalah Surabaya, Malang, Ponorogo dan Jakarta. Sedangkan produk souvenir pemesanan yang baling banyak adalah dari luar Pulau Jawa.
Bahan baku gerabah di Kabupaten Pacitan cukup yang melimpah. Dan dengan kualitas yang sangat baik, membuat produk-produk gerabah dari Pacitan tergolong murah. Ini yang membuat pasar sangat bergairah untuk menyerap produksi. Harga paling murah Rp 1500 berupa asbak atau souvenir souvenir pernikahan. Paling mahal Rp 150 ribu berupa guci-guci bermotif wayah atau batik.
Menjelang Maulud Nabi Muhammad SAW, permintaan gerabah meningkat tajam. Pesanan tidak saja dari Pacitan, namun juga Ponorogo, Trenggalek, Wonogiri dan Madiun. Cobek merupakan salah satu produk yang paling banyak dipesan. “Kalau Muludan permintaan banyak, sampai-sampai kami kualahan,” kata Rumini.
Proses pembuatan gerabah seni sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gerabah biasa. Mula-mula tanah digiling dua kali dengan mesin. Tanah yang telah digiling itu lalu dibentuk gerabah sesuai dengan yang dikehendaki. Ada yang dibentuk guci, pot, maupun jambangan. Yang membedakan dengan gerabah biasa adalah bentuknya yang telah disesuaikan dengan tren pasar yang berkembang. Dan lagi pada badan gerabah tersebut diberi pernik hiasan berbagai motif.  Setelah diberi pernik hiasan lalu dikeringkan di bawah terik matahari selama 2 s.d 4 jam. Setelah itu diletakkan di ruangan sampai kering. Ini untuk menghindari keretakan pada proses pembakaran. Setelah kering, dilakukan proses pembakaran selama 4 jam. Sentuhan akhir produk gerabah tradisional, biasanya langsung dijual setelah dibakar. Gerabah modern, yang dibuat dengan sentuhan seni, tidak demikian halnya. Setelah dibakar masih harus melalui proses finishing alias tahap akhir atau penyempurnaan. Sentuhan akhir inilah yang sangat menentukan nilai jual gerabah. Tahap penyempurnaan yang dimaksudkan adalah proses pewarnaan dengan menggunakan cat yang memerlukan ketrampilan khusus.
Saat ini di Desa Purwoasri, dari 30 orang perajin hanya 4 orang yang aktif menekuni gerabah seni. Surati, salah seorang perajin gerabah seni, mengaku setiap tiga hari bisa menghasilkan rata-rata 10 guci/pot, 10 set (dudukan dan pot/3 hari). Harga jual guci Rp 10 - Rp 15 ribu/guci kondisi mentah (siap bakar). Sedangkan pot Rp 3.500 - Rp 5.000/set.
Sebenarnya bila dibandingkan dengan gerabah biasa hasilnya jauh berbeda. Dulu saat masih menekuni gerabah biasa dalam satu bulan perajin mendapat Rp 300 ribu sudah bagus. ”Tapi sejak menekuni gerabah seni minimal 1 bulan saya dapat Rp 500 – 700 ribu,” kata Surati.
Pasar utama produk gerabah seni Desa Purwoasri adalah Jogjakarta, dan sebagian dijual di wilayah sendiri, Ponorogo dan Madiun. ”Mengenai pemasaran tidak mengalami kendala, bahkan saat ini kami kewalahan melayani pesanan. Kendalanya terletak pada kurangnya tenaga yang mau dan mampu memroduksi gerabah seni serta mahalnya harga cat,” katanya.
Hanya saja akhir-akhir ini perajin gerabah seni di Pacitan proses produksinya agak terganggu, lantaran dampak cuaca ekstrem selama dua bulan terakhir yang menyebabkan kuantitas dan kualitas produksi mereka turun drastis. “Jika cuaca terus begini, hujan turun setiap hari, kami bisa tidak makan karena tak ada lagi barang yang bisa produksi dan kami jual ke pasar,” kata Sri Utami, salah seorang perajin gerabah dari tanah liat di Desa Purwoasri, seperti dikutip Antara. Sri menuturkan, dalam kondisi cuaca normal, biasanya dirinya bisa memproduksi minimal enam unit ”kekep” (penutup wajan/ penggorengan dari tanah liat) dalam sehari. Namun karena hujan terus mengguyur, produktivitasnya menurun drastis. Jangankan membuat enam buah, bisa menghasilkan satu buah ”kekep” hingga kering saja sudah beruntung. ”Kendalanya tentu pada tahap pengeringan. Jika (cuaca) mendung terus dan hujan, bagaimana kami bisa mengeringkan cetakan ’kekep’ yang sudah jadi,” ujarnya mengeluh. Keluhan serupa juga disampaikan sejumlah perajin dan pengusaha industri kecil lain di Pacitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar