Letaknya
nun di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur, dihimpit panorama
bergunung-gunung, di sanalah Kabupaten Pacitan. Wilayah paling ujung ini
berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Trenggalek di
timur,samudra Hindia di selatan, dan Wonogiri Jawa Tengah di sebelah
barat.
Sebagian
besar wilayahnya berupa pegunungan kapur. Karena itu tanah di Pacitan
kurang cocok untuk pertanian. Kondisi alam yang keras inilah membuat
masyarakat Pacitan mahir menyesuaikan kehidupan dengan alam. Pacitan
adalah tempatnya batu mulia. Selain batu mulia, di kabupaten ini juga
berkembang batik tulis dan sentra kerajinan gerabah.
Sentra
kerajinan gerabah berada di Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung. Desa
ini persisnya berada di km 8 arah selatan Kota Pacitan menuju Pantai
Wawaran. Desa ini memang sudah sejak lama terkenal dengan kerajinan
gerabahnya. Tidak kurang dari 30 orang perajin setiap hari memproduksi
gerabah, terutama jenis peralatan dapur dan pot bunga.
Selain
memproduksi gerabah untuk kebutuhan sehari-hari, di Desa Purwoasri juga
diproduksi gerabah seni. Bagi Kabupaten Pacitan gerabah seni masih
tergolong unggulan baru. Namun karena produk-produknya bagus, mampu
menggerakkan warga satu kampung untuk berproduksi. Maka kerajinan
gerabah seni ini layak mendapatkan dukungan.
Sejak
tahun 1959 Desa Purwoasri sudah menjadi sentra kerajinan gerabah.
Kerajinan ini sudah menjadi produksi massal bagi hampir warga dusun.
Menariknya, kebanyakan pekerjanya adalah wanita atau ibu-ibu. Baru tahun
2009 dibentuklah kelompok perajin, namanya Maju Asri. Saat ini anggota
kelompok ini mencapai 44 orang perajin semuanya adalah kaum ibu-ibu.
Menurut
Rumini, 50 tahun, Kepala Produksi Gerabah Seni Maju Asri, produksi
perajin gerabah di Desa Purwoasri yang paling diminati pasar di
antaranya guci-guci bermotif batik dan wayang, vas bunga, tempat payung,
asbak dan berbagai souvenir. Pasar gerabah seni yang sudah tergarap
dengan baik adalah Surabaya, Malang, Ponorogo dan Jakarta. Sedangkan
produk souvenir pemesanan yang baling banyak adalah dari luar Pulau
Jawa.
Bahan
baku gerabah di Kabupaten Pacitan cukup yang melimpah. Dan dengan
kualitas yang sangat baik, membuat produk-produk gerabah dari Pacitan
tergolong murah. Ini yang membuat pasar sangat bergairah untuk menyerap
produksi. Harga paling murah Rp 1500 berupa asbak atau souvenir souvenir
pernikahan. Paling mahal Rp 150 ribu berupa guci-guci bermotif wayah
atau batik.
Menjelang
Maulud Nabi Muhammad SAW, permintaan gerabah meningkat tajam. Pesanan
tidak saja dari Pacitan, namun juga Ponorogo, Trenggalek, Wonogiri dan
Madiun. Cobek merupakan salah satu produk yang paling banyak dipesan.
“Kalau Muludan permintaan banyak, sampai-sampai kami kualahan,” kata
Rumini.
Proses
pembuatan gerabah seni sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gerabah
biasa. Mula-mula tanah digiling dua kali dengan mesin. Tanah yang telah
digiling itu lalu dibentuk gerabah sesuai dengan yang dikehendaki. Ada
yang dibentuk guci, pot, maupun jambangan. Yang membedakan dengan
gerabah biasa adalah bentuknya yang telah disesuaikan dengan tren pasar
yang berkembang. Dan lagi pada badan gerabah tersebut diberi pernik
hiasan berbagai motif. Setelah diberi pernik hiasan lalu dikeringkan di
bawah terik matahari selama 2 s.d 4 jam. Setelah itu diletakkan di
ruangan sampai kering. Ini untuk menghindari keretakan pada proses
pembakaran. Setelah kering, dilakukan proses pembakaran selama 4 jam.
Sentuhan akhir produk gerabah tradisional, biasanya langsung dijual
setelah dibakar. Gerabah modern, yang dibuat dengan sentuhan seni, tidak
demikian halnya. Setelah dibakar masih harus melalui proses finishing
alias tahap akhir atau penyempurnaan. Sentuhan akhir inilah yang sangat
menentukan nilai jual gerabah. Tahap penyempurnaan yang dimaksudkan
adalah proses pewarnaan dengan menggunakan cat yang memerlukan
ketrampilan khusus.
Saat
ini di Desa Purwoasri, dari 30 orang perajin hanya 4 orang yang aktif
menekuni gerabah seni. Surati, salah seorang perajin gerabah seni,
mengaku setiap tiga hari bisa menghasilkan rata-rata 10 guci/pot, 10 set
(dudukan dan pot/3 hari). Harga jual guci Rp 10 - Rp 15 ribu/guci
kondisi mentah (siap bakar). Sedangkan pot Rp 3.500 - Rp 5.000/set.
Sebenarnya
bila dibandingkan dengan gerabah biasa hasilnya jauh berbeda. Dulu saat
masih menekuni gerabah biasa dalam satu bulan perajin mendapat Rp 300
ribu sudah bagus. ”Tapi sejak menekuni gerabah seni minimal 1 bulan saya
dapat Rp 500 – 700 ribu,” kata Surati.
Pasar
utama produk gerabah seni Desa Purwoasri adalah Jogjakarta, dan
sebagian dijual di wilayah sendiri, Ponorogo dan Madiun. ”Mengenai
pemasaran tidak mengalami kendala, bahkan saat ini kami kewalahan
melayani pesanan. Kendalanya terletak pada kurangnya tenaga yang mau dan
mampu memroduksi gerabah seni serta mahalnya harga cat,” katanya.
Hanya
saja akhir-akhir ini perajin gerabah seni di Pacitan proses produksinya
agak terganggu, lantaran dampak cuaca ekstrem selama dua bulan terakhir
yang menyebabkan kuantitas dan kualitas produksi mereka turun drastis.
“Jika cuaca terus begini, hujan turun setiap hari, kami bisa tidak makan
karena tak ada lagi barang yang bisa produksi dan kami jual ke pasar,”
kata Sri Utami, salah seorang perajin gerabah dari tanah liat di Desa
Purwoasri, seperti dikutip Antara. Sri menuturkan, dalam kondisi cuaca
normal, biasanya dirinya bisa memproduksi minimal enam unit ”kekep”
(penutup wajan/ penggorengan dari tanah liat) dalam sehari. Namun karena
hujan terus mengguyur, produktivitasnya menurun drastis. Jangankan
membuat enam buah, bisa menghasilkan satu buah ”kekep” hingga kering
saja sudah beruntung. ”Kendalanya tentu pada tahap pengeringan. Jika
(cuaca) mendung terus dan hujan, bagaimana kami bisa mengeringkan
cetakan ’kekep’ yang sudah jadi,” ujarnya mengeluh. Keluhan serupa juga
disampaikan sejumlah perajin dan pengusaha industri kecil lain di
Pacitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar